CV. 1001 - Sukses Kembangkan Produk Instan


Almarhum H. Dedi Mulyadi mungkin tidak bakal mengira, jika beras Garut merek 1001 yang ia pasarkan sejak tahun 1974 saat ini sudah bermetamorfosis menjadi berbagai macam produk jadi yang digandrungi pasar.

Lewat keuletan putra bungsunya, CV 1001 sekarang memiliki keuntungan per minggu dari penjualan beras curah Garut 1001 Rp.300 juta dan Rp.20 juta per hari dari nasi liwet instant Seribu Satu. Beras Garut 1001 berasal dari varietas padi Sarinah, lewat CV 1001 Dedi Mulyadi pernah menangguk keuntungan besar.

“Tahun 84, kami mengalami masa kejayaan. Pengiriman beras 1001 ke Jakarta per harinya bisa mencapai 57 ton,” kata beliau yang saat ini memimpin CV 1001. Para distributor yang hendak membeli beras tersebut menurutnya harus indent karena banyaknya permintaan.

Namun di balik keuntungan yang didapat CV 1001 sebetulnya ada kerugian besar. Menurutnya, beras Garut yang datang ke Jakarta dengan karung beras Garut ditukar dengan karung merek Pandan Wangi dari Cianjur. Dedi Mulyadi meninggal pada tahun 1996, dan CV 1001 mengalami kevakuman. Tahun 2003, usaha itu dilanjutkan kembali oleh putra bungsunya yang baru menempuh Diploma Program Studi Teknik Energi Politeknik ITB (sekarang Politeknik Bandung).

Lelaki berkacamata yang tidak memiliki pengalaman dagang ini dihadapkan pada mangkraknya pabrik penggilangan padi seluas 1 hektar milik almarhum ayahnya. “Pas memulai, saya tidak punya pengalaman, kebanyakan ditipu, tapi itu jadi ilmu buat saya,” kata bungsu dari 5 bersaudara ini.

Menurutnya ia kerap ditipu bandar yang mengklaim punya beras Garut bagus, namun saat digiling kualitasnya berbeda. Ia juga mengalami penipuan oleh para tukang beras saat harga beras anjlok. “Karena tahu kita punya stok, mereka datang dengan harga tinggi, awal pembayaranya bagusnya tapi kemudian tidak dibayar,” katanya saat ditemui di Bandung.

Jatuh bangun ini berujung membuat CV 1001 memutuskan untuk menjual pabrik pada tahun 2005 karena terlilit hutang ke bank sebesar Rp200 juta. “Saya gagal, jadi pabrik mau dijual,” kata lelaki yang baru melepas masa lajang ini. Pembeli yang hendak membeli pabrik tak kunjung datang, di masa-masa suram ini dia memutuskan menyelami lebih dalam soal beras Garut dan mesin penggilingan yang ada di pabriknya.

Apa yang ia temukan? “Saya menyadari akan keunggulan beras Garut yang tidak dimiliki beras lain,” katanya. Jika sudah ditanak beras Garut tidak hambar, warnanya putih tanpa pemutih, tahan lama di rice cooker. “Juga tidak berubah warna, dan tidak berbau. Rasanya tetap enak,” paparnya. Dari temuan itu timbul keinginan untuk mengembangkan beras Garut unggulan.

Usai menemukan bahwa beras Garut memiliki keunggulan, ia mulai menilik potensi tiga mesin penggilingan merek Ichi senilai Rp7 juta peninggalan almarhum. Ia merubah sistem penggilingan beras dari satu kali menjadi tiga kali.

Di mesin, beras dicuci lantas divakum dedaknya agar tidak ada kutu beras bersarang. “Di mesin itu ada material-material seperti gula batu. Orang Jepang dari Satake [produsen mesin giling] sangat kaget dengan mesin jadul yang bisa menggiling tiga kali,” katanya.

Dengan keberhasilan ini, ia kembali memasarkan beras Garut 1001 ke Jakarta. Sayangnya, di Jakarta para agen masih bertindak curang, mengganti karung beras pasokannya dengan karung merek cap Jago dari Thailand lantas menjualnya dengan harga mahal. “Tekstur fisik dan rasanya sama,pas saya ke Jakarta itu harganya beda 1000 rupiah dengan beras lain, ” katanya.

Sadar dengan kondisi beras Garut yang belum dikenal, ia mencari jalan lain untuk membuat produk baru. Garut menurutnya semakin dikenal sebagai tujuan wisata yang identik dengan oleh-oleh khas. “Oleh-oleh identik dengan [hal] unik dan khas [daerah], Saya berpikir bergeraknya harus dari daerah. Ini jalan untuk lebih mempopulerkan beras Garut,” katanya.

Ia melakukan eksperimen untuk menemukan jalan bagaimana caranya beras jadi oleh-oleh khas Garut. Daya tarik yang tidak unik menurutnya tidak akan berhasil memikat wisatawan. Ia menoleh pada nasi liwet yang banyak dijajakan di rumah makan di Garut. Kebetulan kakaknya ada juga yang jualan nasi liwet.

Dengan modal awal sebesar Rp30 juta ia mulai bereksperimen membuat nasi liwet instant Januari 2011. Ia mulai rajin mendatangi restoran yang menawarkan menu nasi liwet enak, ia catat komposisinya dan dibawa ke rumah. “Saya coba aplikasikan dengan meramu bahan-bahan, saya atur komposisinya agar bisa tahan lama,” katanya. Ia mengundang rekan-rekan untuk membandingkan nasi liwet buatan restoran dengan nasi liwet instant temuannya.

Awalnya, Ia membuat 3 macam rasa nasi liwet instant isi 500 gram yakni jengkol, jambal, dan petai plus beras aroma jeruk dan jambu untuk mengetes pasar. Juli 2011 setelah mendaftarkan produk pada dinas kesehatan dan MUI, ia baru berani meluncurkan produk tersebut sebanyak 50 pack di sebuah pameran produk Garut.

Wakil Bupati Garut Dicky Chandara (saat ini sudah mundur) waktu itu menurutnya langsung memborong produk jualannya untuk diperkenalkan pada bupati. Dari sana, nama nasi liwet instant 1001 mulai harum, dikenal dan diburu konsumen.

“Dulu sehari Cuma bikin 25-50 pack, sekarang 1500 pack,” katanya. Tenaga kerja pun bertambah, dari hanya tiga orang saat ini sekitar 270 orang. “Keuntungan per hari dari liwet instant Rp20 juta”.

Dengan produk instan ini menurutnya konsumen bisa mengkonsumsi dengan cara yang mudah. Biasanya untuk membuat nasi liwet dari mengupas bahan baku sampai mengatur api butuh waktu 1 jam. “Kalau [instant] butuh 20 menit. Buat yang nggak bisa masak pun bisa,” katanya. Produk ini sendiri bisa tahan selama 8 bulan, namun untuk mencari aman ia membatasi hingga 7 bulan saja.

Keunggulan lain yang ditawarkannya adalah jika pada pembuatan nasi liwet biasa apinya harus diatur agar rasa liwetnya terasa, meski dimasak di rice cooker rasa liwet produknya diklaim tetap terasa. Untuk memenuhi tuntutan konsumen ia juga membuat liwet instant ukuran 250 gram dan menambah 3 rasa baru yakni original, cumi dan teri. Untuk ukuran 500 gram dijual dengan harga Rp25.000 (Pulau Jawa) dan 250 gram Rp15.000 (Pulau Jawa).

Untuk memasarkan produk ini ke luar Garut, CV 1001 mengandalkan sekitar 10 distributor yang tersebar di sejumlah kota. Distributor memasarkan kembali produk lewat ratusan reseller yang ada. “Kami tidak menjual di pasar modern, reseller sangat membantu sekali,” katanya. Menurutnya nasi liwet ini sudah dijual ke luar Jawa dari Kalimantan hingga Bali.

Dari luar negeri, sejumlah pesanan sudah datang dari Dubai, Singapura, hingga Eropa. “Sekarang sudah ada permintaan secara resmi dari Eropa dan Australia. Kami tengah mencoba untuk menyesuaikan produk kami dengan standar kesehatan makanan di sana agar bisa menggaet banyak konsumen,” katanya. Pihaknya juga saat ini sedang menggarap kerjasama dengan sejumlah Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) agar produk liwet ini bisa dibawa oleh jemaah haji.

Setiap hari, untuk memproduksi 1500 pack liwet instant, pihaknya membutuhkan 6 kuintal beras Garut. Pasokan beras tersebut didapat CV 1001 dari 200 petani binaan yang ada di daerah Samarang, Garut. Agar kelangsungan produk dan petani sama-sama terjamin, ia mengaku pihaknya memberikan sejumlah bantuan dari modal, pupuk hingga alat. “Nanti kalau panen mereka terikat untuk jual ke kita, tapi harganya tetap sesuai dengan pasaran,” tambahnya.

Meski sukses nasi liwet instant sudah mulai dirasakan, CV 1001 masih mengandalkan penjualan beras curah. “Kalau liwet kan dimakan pada waktu-waktu tertentu, kalau beras tiap hari,” katanya. Setiap minggu pihaknya mengirim beras Garut ke Pasar Beras Cipinang sebanyak 38 ton dengan keuntungan sebesar Rp300 juta.


Pusat Produk 1001 - Nasi Liwet & Nasuwa
(Hotline : 081224331001 / 087879801001)